Pada Sebuah Jalan


“Permisi, numpang tanya?” tulisku pada sebuah sms yang kukirim untukmu.
“Iya Neng, ada apa?
“Mau tanya, alamat menuju hatimu dimana ya?” jawabku asal.
“Itu di jalan sabar nomor 5, Neng. Lewat jalan raya ikhlas aja, ya!”
Aku sedikit menahan tawa saat membaca smsmu. Namun, segelitik rasa khawatir melanda hati. Bagaimana bila ini memang sesungguhnya yang ada dihatimu?

“Gak mau lewat situ, ah! Daerah macet, jauh pula! Ada jalan lain?”
“Ada. Tapi jalannya rusak dan banyak lubang.”
Mungkin ini sebuah tantangan. Atau sebuah ujian. “Gak apa-apa. Aku perginya naik angkot jurusan keikhlasan, insyaALLAH nyampe dengan selamat.”
“O, ya sudah. Hati-hati di jalan kalau begitu, Neng!”
“Ok! Terima kasih, Pak!!”
Masihkah kamu ingat dialog ini yang terjalin beberapa bulan yang lalu? Aku ragu kau masih mengingatnya. Bahkan mungkin semua sms dariku tak kau simpan. Kau bahkan mungkin lupa, bahwa di bawah sinar rembulan kita pernah menyanyikan lagu Sepanjang Hidup milik Maher Zein.
Lalu, dialog itu kembali terulang malam ini. Namun bukan lewat sms. Terjadi saat kita sama-sama dalam perjalanan pulang dari rumah kawan kita. Kau bersama motormu. Aku dengan motorku. Di saksikan bulan yang tak malu menampakkan sinarnya.
“Sendirian aja, Mang?” Godaku saat motormu sejajar lajunya dengan motorku.
“Iya, nih. Mau kemana, Neng?”
“Mau ke hatimu!”
“Boleh. Tapi hati-hati, ya! Jalannya rusak!”
“Iya saya tahu, makanya saya gak jadi kesana!” kulajukan motorku mendahuluinya karena ada pengendara lain di depanku.
Kau pun menyalip pengendara itu dan kembali menyejajarkan lajumu. “Emang kenapa?”
“Sayang motornya kalo dipake lewat jalan rusak!”
Kau terdiam.
Segelitik rasa khawatir yang dulu sempat kurasa, kini kembali mengganggu. Kebenaran rasaku menyundutkan rasa perih di sela hatiku.
“Sempat berpikir kembali menuju ke sana. Kali ini gak hanya rusak jalannya. Tapi ditambah gelap gulita!”
Kembali kita sama-sama menyalip dua orang pengendara di depan. Lalu kembali menyejajarkan laju motor masing-masing.
“Emang lampu motornya mati?”
“Nyala. Tapi jalan yang gelap rawan di begal orang!”
“Belum pernah di begal, kan?”
“Emang kamu udah pernah?” aku membalikkan pertanyaannya.
“Belum! Tapi gak papa, coba aja. Siapa tahu cuma diminta nomor hape.”
“Sukur-sukur cuma diminta nomor hape, kalo diminta hatinya gimana?”
“Emang gak punya lagi?”
“Gak ada! Tapi, bisa bagi dua, sih?”
“Parah!”
Lalu persimpangan jalan menghadang. Dimana aku harus ke kanan, dan kau ke kiri. Kita harus berpisah. Seperti kisah kita yang tak akan terukir pada jalan yang sama. Melainkah tergores dan berakhir di persimpangan jalan.
Kau tahu? Walau bukan dalam keseriusan, aku menangkap maksud yang kita obrolkan. Semua menjelaskan arti yang coba kucari selama ini.
Benar, jalan menuju ke hatimu tidaklah mudah. Begitu gelap. Banyak lubang yang menganga. Sangat dibutuhkan kesabaran untuk melaluinya. Butuh keikhlasan ekstra untuk menyusurinya. Sementara aku, tak tahu apakah aku akan sanggup melewatinya bila tetap kupaksa.
Sedangkan kutahu, ada tempat yang masih menguasai hatimu. Itu sebabnya mudah bagimu mengabaikan hatiku. Mengacuhkan arti kedekatan kita selama ini. Yang kupikir, ada arti dari yang terjalin selama ini. Perih kembali mengacak-acak hatiku. Luar biasa sakitnya.
Tak pernah kau tahu, kau telah mendatangkan keberanian pada hatiku untuk berharap padamu. Kau tak tahu, tak mudah bagiku untuk berani mempercayai hatiku pada orang lain. Kau tak tahu, kau telah sukses membuatku melawan ketakutan itu. Dan kau tak tahu, saat aku mulai memiliki keberanian, saat itu pula kesakitan yang datang bertamu.
Kini aku tersesat. Yang kutahu, hanya berada di persimpangan. Tempat ini begitu gelap. Begitu dingin. Sakit yang kurasa semakin mencabik-cabik. Menggerogoti setiap kesabaran yang kumiliki. Aku ingin kembali pulang dan mendapati hatiku yang baik-baik saja. Tapi aku lupa jalan pulang. Begitu banyak persimpangan yang kulalui. Ah, sakit ini semakin mengukir derita.
Tenggorokanku tercekat. Aku bagai menyantap masakan bintang lima, tapi rasanya seperti empedu. Pahit!
Aku hanya ingin kembali pulang!



Aku tersesat menuju hatimu. Beri aku jalan yang indah. Ijinkanku lepas penatku. Tuk sekedar lelah di bahumu. Dapatkah selamanya kita bersama. Menyatukan perasaan kau dan aku. Semoga cinta kita kekal abadi. Sesampainya akhir nanti, selamanya…
Rasa cinta yang datang perlahan. Membuatku takut kehilangan. Kutitipkan cahaya terang. Tak padam didera goda dan massa
-Astrid – Tentang Rasa-

0 komentar:

Posting Komentar