Bye-Bye Edha...!!!

Dengan keras Edha memukul meja, hingga Karin pun terlonjak. Nafas Edha naik turun, mukanya merah padam. Berbanding terbalik dengan Edha yang emosi, Karin tampak tenang. Entah kekuatan apa yang merasuk dalam dirinya, hingga bertahan dalam emosi Edha.
           
“Berani-beraninya loe mutusin gue??” bentaknya menggema seisi kelas.
            “Kenapa enggak?” dengan tenang Karin membalikkan pertanyaan yang semakin membuat Edha emosi.
            “Loe enggak bisa mutusin gue gitu aja!” ujarnya sambil menunjuk muka Karin.
            “Edha, sekali lagi kenapa enggak? Gue rasa udah cukup kok, tiga tahun kita sama-sama. Gue udah cukup senang loe tamparin terus tiap kita ribut tanpa kesalahan pasti yang gue perbuat. Gue udah cukup puas dengan caci maki loe yang mengakar berurat di hati gue. Dan gue juga cukup muak sama loe!!”
            Belum lepas kalimat yang terakhir terucap, tangan Edha siap melayang.
            “APA??!!” kali ini Karin menggelegar emosi melihat tangan Edha yang melayang dan akan berayun kearah wajahnya. “Loe mau nampar gue? Ni…pipi gue udah kebal!!” tantangnya seraya menyodorkan pipinya yang mulus.
            “Tak pelak, rahang Edha kian mengeras. Marah campur heran. Sihir apa yang mampu membuat Karin, gadis penurut dan tak pernah marah apalagi berkata kasar, menjadi gadis yang nggak dikenalnya.
            “Kenapa diam??!! Ayo tampar! Udah bosen nampar gue??!! Gue juga kasih kesempatana kok, kalo loe mau nonjok muka gue untuk yang kesekian kalinya!!”
            Benar saja, Edha segera melayangkan kepalan tangannya. Karin yang tak mengelak hanya memejamkan matanya. Pasrah. Baginya, teserah apapun yang akan dilakukan Edha, asalkan dia bisa terlepas dari cengkeraman Edha yang bertangan ringan.
            Tapi tangan itu tak mendarat di wajah Karin. Dia menabrakkannya pada tembok yang berada di belakang Karin. Karin pun membuka matanya. Sorot matanya tajam menatap mata Edha yang masih emosi.
            “Gue muak sama loe!!!” ucap Karin tertahan kemudian berlalu dari wajah Edha, dari kelas yang bisu, dari sekolah yang sunyi.
            “Karin tunggu!!! Kaarrriiinnnn!!!” panggil Edha yang tak mampu menghentikan langkag kaki Karin.
            “Aaaarrrgggghhhh….brengsek!!!”
            Kontan Edha menendang kaki meja hingga meja itu bergeser cukup banyak.



“APA???” pekik Radit tak percaya terhadap apa yang baru saja didengarnya.
            Karin hanya mengangguk mantap. Senyumnya mengembang puas. Lega telah lepas dari ikatan Edha yang menyakitkan. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk merasakan sakit itu. Radit, sang sahabat pun tak banyak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Karin. Radit hanya mampu memberikan kekuatan secara batin. Meski dia pernah menghajar balik Edha yang kedapatan tengah menonjok wajah Karin, itu tak menyelamatkan Karin jika Karin masih saja berada disamping Edha.
            “Serius loe?” Tanya Radit meyakinkan.
            “Loe enggak percaya sama gue?”
            “Bukan gitu. Kemaren-kemaren kemana aja? Kenapa baru sekarang, neng…”
            “Yeah, nggak mudah buat gue untuk ngelakuin itu semua. Tapi sekarang gue lega…Akhirnya gue lepas juga dari dia…!!!” serunya seraya mengambil napas dalam-dalam. Merasakan kebebasan yang seakan-akan inilah kebebasan yang sesungguhnya.
Rasa sakit yang terakumulasi dan semangat yang diberikan Radit menjadi kekuatan bagi Karin untuk segera melarikan diri dari hidup Edha. Siapapun tak ingin hidupnya berakhir oleh tangan-tangan yang ringan.
            “Thanks ya, Dit! Loe udah banyak banget bantu gue untuk lepas dari semua ini,”ucap Karin seraya menggenggam tangan Radit.
            “Kayak ama siapa aja loe pake thanks-thanks-an segala. Lagian gue kan, cuma bantu doa aja,” ujarnya seraya mengacak-acak rambur Karin.
            “Justru karena doa loe itu gue bisa lepas dari dia!” seru Karin nggak mau kalah.
            “Terserah loe aja, deh…”
            Karin sekali lagi tersenyum. Membuat hati Radit terenyuh. Betapa bahagianya hati Radit melihat senyum itu kembali merekah di wajah cantik Karin. Senyum yang selama ini menghilang dari wajahnya. Hanya isak tangis yang selalu merudung wajah itu. Ketabahan dan ketulusannya selama ini nggak sebanding dengan apa yang didapatnya sejak berhubungan dengan Edha. Edha nggak pantas mendapatkan ketulusan hati seorang Karin.
            Esoknya, senyum itu tak mau lepas dari wajah Karin. Kakinya melangkah mantap menuju kelasnya. Tapi belum sampai di muka kelasnya, senyum Karin mendadak layu.
            “Kar, kita harus bicara,” rupanya kehadiran Edha bagaikan racun yang akan mematikan siapapun hanya dengan berdekatan dengannya.
            “Emang ada kita?” Tanya Karin nyolot, meninggalkan Edha dalam dongo.
            “Tunggu, Kar! Kita bisa bicarain ini semua baik-baik, kan?” panggil Edha menarik tangan Karin hingga Karin tepat berada dihadapannya Edha.
            “Enggak ada yang harus dibicarain lagi. Semuanya udah selesai!”
            “Ini semua pasti gara-gara Radit!” tuduhnya.
            “Enggak usah bawa-bawa Radit, deh! Harusnya dari dulu gue ikutin kata-katanya dia. Sayangnya gue terlalu bego mau bertahan sama loe!!” bela Karin.
            “Bener, kan! Semua ini pasti gara-gara Radit!!”
            “Bisa nggak, sih? Loe enggak nyalahin orang lain. Kalau pun ada yang harusnya disalahin, itu adalah diri loe sendiri. Kenapa loe mesti lahir ke dunia ini dan nyakitin hati gue??” Karin pun langsung pergi dari hadapan Edha yang dibiarkannya mengerang kesal.
            Radit yang sedari tadi memperhatikan mereka, tak kuasa menahan tawa melihat aksi Karin dan reaksi Edha. Ternyata Edha pun menangkap sosok Radit di ujung matannya. Engan santai, Radit menyeringai dan mengacungkan jempolnya yang kemudian diputar seratus delapan puluh derajat. Lalu menyusul Karin menuju kelasnya, meninggalkan Edha yang lagi-lagi menahan emosi. Rahangnya mengeras seraya mengepalkan tangannya.

# Selesai

0 komentar:

Posting Komentar